Membuang Gengsi, Menembus Pasar dan Target Konsumen Di Sosial Media


''Kalau saya adalah salah satu diantara beberapa orang terkaya di Indonesia dan masih menggunakan SPG untuk menghubungkan produk saya. Ada yang salahkah dengan kegilaan saya menghambur-hamburkan uang untuk SPG? Padahal, produk saya sendiri sudah dicandu oleh jutaan orang dan seterkenal ini. Jika disadari, bisa dipastikan sekali bahwa kegengsian untuk terhubung oleh banyak orang justru menjadi satu-satunya penyebab saya gagal membranding merk saya dan tidak berkembang sampai tahap ini.'' Ucap Robert Budi Hartono, pemilik Djarum dengan kekayaan 18,7 Miliar USD pada tahun ini saat sesi wawancara di Studio K TV-One Malam itu.

Membicarakan keberhasilan Bp. Robert Hartono membranding produknya, tentunya tidak akan terlepas jauh dengan keberaniannya melawan budaya pergengsian untuk terhubung dengan banyak pemakainya.

Lalu, bagaimana jika personal branding dalam ranah sosial media?

Pastinya,
Menjadi diri sendiri dalam bersosial media adalah sebuah kebebasan berekspresi yang dimiliki oleh siapapun. Meski saja, norma-norma dan hukum sosial kerap kali menjadi filter dan konsekuensi atas apa yang kita lakukan.

Kurang lebih sudah setengah abad lebih saya pribadi menggunakan media Instagram. Diiringi banyak hal yang membawa saya untuk selalu mendewasakan diri atas budaya yang selalu berkembang pada setiap bertambahnya umur. Mulai dari postingan yang lebay, tidak ada baiknya sama sekali, hingga pada postingan yang lebih bisa mengontrol atas apa yang baik dan relevan.

Dibalik gegap gempita Instagram, sedikit menarik untuk mengenal ejakulasi dini ‘star syndrome’. Penyakit mental dan psikologis yang tidak disadari menyerang siapa saja meski pelakunya bukan seorang publik figur yang dikenal banyak orang.

Cukup menyadari pula, ‘star syndrome’ kedinian, secara tidak sadar menjangkau saya pribadi. Gengsi untuk memiliki following banyak, hingga memuja followers banyak. Perang like, dan followers hingga debat retorika atas following.

pada capaian klimaksnya, perbandingan like jumlah terbanyak menjadi acuan siapa yang paling keren diantara saya dan orang-orang sekitar yang pada akhirnya memunculkan kesimpulan bahwa siapa saja dengan like dan followers terbanyak maka dialah pemenangnya.

Akhir-akhir ini, sebuah profesi baru era milenial dengan mengandalkan jumlah followers jutaan dan following sedikit menjadi cita-cita baru para cendekiawan yang lahir di tahun-tahun milenial.

Dalam proses mewujudkan cita-cita tersebut, tentunya akan berhubungan dengan usaha kreatif atau proses nekat yang meracuni setiap pelaku demi mendapatkan profesi tersebut.

Usaha-usaha negatif dan serba positifpun berseliweran. Mulai dari membuat konten kreatif hingga konten negatif sekalipun. Sebagai contoh, produktif membuat karya hingga menjual payudaranya demi memancing audiensnya. 

Diluar proses produksinya, hal yang cukup berbahaya jika saja dengan perilaku mengagungkan followers berjumlah banyak dan mendewakan following berjumlah sedikit menjadi pola pikir pelaku dalam bersosial media. Dibalik hal itu, pola tersebut justru membatasi diri untuk berkenalan, terhubung, dan menemukan banyak relasi baru. Jika dibalik, seperti ogah saja untuk memfollow balik orang-orang yang telah memfollownya dengan tujuan perkenalan dan hubungan baru.

Dengan kesadaran yang semoga baik. ‘Star Syndrome’ kedinian dengan perilaku seperti diatas justru membatasi saya untuk berbagi, berkenalan, hingga terhubung dengan banyak orang. 



Comments