Bingung ide, makin anti pemuda, hingga fasilitas para peminum ciu warnai ruang publik Salatiga

Selasar kartini, Salatiga

Tanpa mengurangi rasa hormat atas siapa saja yang bekerja untuk istri dan anaknya atas proyek ini, juga didukung kebebasan berpendapat pasal 28E ayat 3.

Entah, gagasan apa yang dimiliki oleh para pemangku kebijakan fungsi dan estetika ruang publik di Salatiga. Belakangan lalu, ruang berwarna-warni bak taman kanak-kanak, makin ramai digemborkan di ruang-ruang publik Salatiga. Dengan dalih tujuan yang baik itu, menampilkan taman kota yang ramah anak. 

Jika melihat dari mana asal muasal sebuah tempat direspon dengan cat beragam warna. Merespon ruang publik dengan cara tersebut viral berangkat dari sebuah ide komunitas 'Guyspro', kumpulan beberapa mahasiswa komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang.

Dengan program Corporate Social Responsbilities (CSR) yang berhasil merubah kawasan pemukiman kumuh di Jodipan Malang hingga membuatnya tampak estetik dan berhasil dijiplak oleh ratusan kampung di banyak daerah di Indonesia.




Lantas, sudah relevankah jika saja ide tersebut diaplikasikan di ruang-ruang publik yang pada dasarnya tidak memiliki kegelisahan yang sama.

Jika saja Malang terkenal dengan Kampung pelanginya, biarkan saja Salatiga menjadi Salatiganya sendiri. 

Wajarnya, para pemangku harusnya merespon sumber daya manusia dan keadaan sosialnya hingga tercipta gagasan baru yang lebih merepresentasikan keadaan Salatiga.

Lucu saja, jika Kawasan taman publik semegah itu. Pada kebijakan dan pengembangan estetikanya harus dipaksa berwarna-warni selayaknya kampung wisata jodipan di Malang. Seperti kekurangan ide dan sumber daya saja. Ngacau. 




Alih-alih membuat spot selfie dan berfoto, lebih baik gunakan saja uang dan jasa para pengecat untuk menambal banyak sekolah TK di Salatiga yang lebih membutuhkan. 

Daripada, timbul asumsi bahwa para pemangku kebijakan tersebut justru tidak menghargai ruang megah itu dan tidak melihat keadaan sosial yang sebenarnya terjadi di Salatiga sendiri.




Sudah lama juga, pentas pertunjukan diadakan di gedung-gedung yang selayaknya bukan wadah para pegiat pertunjukan. Dari Gedung Olahraga, hingga Gedung Pertemuan Daerah sesempit itu dipaksanya menjadi ruang pertunjukan hingga kegiatan-kegiatan kreatif anak muda lainya. Sudah harus bayar mahal, insfrastruktur juga tak sepenuhnya mendukung. 

Dengan problematika yang sama, pegiat pameran visual juga harus dipaksa menunjukkan taringnya di gedung-gedung yang tak sepantasnya. Dari perpustakaan, rumah dinas walikota, hingga memaksa para pegiat membuat ruang-ruang kolektif sendiri. 

Ironis, jika fakta yang sedang terjadi justru agak membingungkan karena Salatiga lebih rajin mengembangkan infrastruktur trotoar dengan bakso beton.




Belum lama juga, kursi-kursi besi nan estetik terpasang rapi di sepanjang trotoar. Tak sedikit pula yang terpasang tanpa tujuan yang jelas. 

Akan menjadi luar biasa, jika saja kursi-kursi yang terpasang dengan tujuan tak jelas itu. Dipasang di pinggir gerbang sekolah sepanjang 100 meter hingga kemudian menciptakan rekor MURI kursi publik terpanjang di Indonesia. Salut! murid-murid ngetem jadi satu, nggak ada tawuran dan gep-gepan.

Hingga, puji syukur para pemilik hobi peminum ciu. Kursi yang terpasang di tempat gelap ketika malam hari dan jauh dari tempat strategis menjadi wadah mereka party diiringi musik dangdut semacam MG 86 dan Abah Lala..

Comments