Gus Dur : Pie, Iseh Adem Ayem Tentrem Jamanku Toh?

Mural #2019 Merayakan Perbedaan
Jl. Mangunsidi Salatiga

Soedjojono dan Affandi, 2 Maestro perupa Indonesia asal Partai Komunis Indonesia menjadi sejarah seniman dan budayawan yang lolos menjadi anggota DPR pada pemilu 1955, puluhan tahun lalu. 

Revolusi fisik menguatkan keyakinan mereka untuk menyatakan diri bahwa 'seni dan politik bukan sesuatu yang bermusuhan'  Mazhab realisme dalam dunia kerakyatan yang dibawa oleh Soedjojono dan Hendra Gunawan menyimpulkan bahwa 'Seni adalah keluarga politik'. Seni yang terlibat pada politik langsung bisa kita lihat dari keterlibatan mereka. Baik tergabung, ataupun tidak tergabung didalamnya. 

Banyak dari mereka pula memiliki jalan yang berbeda-beda, menopangnya melalui berbagai cara termasuk beragam kritik dan propaganda yang melahirkan banyak poster seperti 'ajo bung' waktu itu yang tersebar dimana-mana.

Lalu, bagaimana keterlibatan seniman dengan pemilu 2019 saat ini dan bagaimana dampak yang ditimbulkan? atau mungkin, dampak yang dihasilkan dari keterlibatan mereka saat ini justru  tidak mampu meredam kegaduhan atau justru menambah keresahan masyarakat.

Kurang lebih beberapa minggu lagi, Indonesia kembali merayakan apa yang sudah menjadi kewajiban bangsa dan negara 5 tahun sekali ini. Menentukan pilihan, mendapatkan wakilnya, dan harapan Indonesia yang lebih baik. 'Tentunya'

Diluar dari apa yang kita harapkan dan kita dapatkan nanti. Siapapun wajib untuk menjadi bagian dari ini dan itu. Entah memiliki pilihan atau tidak, seharusnya pula 'wajib' bagi kita untuk tidak menciderai perhelatan ini.

Tidak terkecuali, 

Keterlibatan "seniman" mendukung perhelatan ini agar berjalan baik atau tidaknya. 

Musisi dengan lirik dan nadanya, visual artist dengan gambar-gambarnya, penari dengan gerak tubuhnya, ataupun para seniman teater dengan pertunjukannya.

Namun, keluar dari apa yang seharusnya dilakukan. Penulis, "Seniman" justru lupa pada apa yang seharusnya perlu dijaga untuk mendukung perhelatan ini berjalan baik.



Asas pemilu yang dilahirkan oleh para pahlawan dahulu kala mendadak hilang dan dilupakan satu-persatu oleh mereka. 'Para pemilih'

Bagaimana jika pilihan 'seniman' dengan jutaan fans yang tidak dirahasiakan memiliki dampak yang begitu riskan? 

Memprovokasi fans mereka, mengarahkan opini, atau mungkin dengan tidak sengaja memaksa fans fanatiknya menentukan pilihan yang sama sesuai pilihan idolannya.  

Baiklah 'saya memilih capres ini karena idola saya si A memilih ini' sebuah sikap dan pernyataan dari masyarakat B yang memiliki idola A.

Tragis, kecerdasan untuk memilih seketika hilang selepas mereka terbawa pada opini idolanya.

Lalu, bagaimana  "seniman" seharusnya menjaga asasnya agar tidak memprovokasi fans mereka secara disengaja atau tidak disengaja sama sekali? Padahal sejatinya fans memiliki akal cerdas untuk memilah siapa yang pantas untuk menjadi wakilnya.




Comments