"Budaya orang Indonesia saat ini mayoritas melihat bukan menganalisis, maka dari itu kebanyakan dari mereka memiliki kebiasaan mengklaim sekilas dan sekilat mungkin untuk menjudge sesuatu'
Sebuah pernyataan yang resmi saya pegang jauh-jauh hari untuk menjalankan apapun yang menurut saya benar dan mendidik.
Source : Asumsi
Dialah Ananta Soesilo Toer , adik Pramoedya Ananta Toer yang menginspirasi kegiatan liar, ilegal, dan melawan. Sebuah movement 'Salatiga Street Art #2' terselenggara dan bertahan hingga acara itu selesai untuk dikerjakan oleh saya dan teman-teman.
Perjalanan Salatiga Street Art di ruang publik Taman Tingkir memiliki banyak kendala untuk dapat dilaksanakan dengan sesuatu yang legal. Pro dan Kontra berseliweran untuk menjadikan movement ini legal dan didukung penuh oleh banyak orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kepentingan yang tersistem di ruang tersebut.
Dua bulan sebelum kegiatan ini berjalan, konsep matang sudah siap untuk di kerjakan dengan semangat membara. Ijin dan dukungan sudah saya dapatkan dari orang-orang yang memiliki kekuasaan dan kepentingan di ruang tersebut. Pemakaian ruang aula sebagai sebuah tempat untuk menjadi space visual art exhibition juga sudah saya kantongi, sekalipun ijin itu saya dapat sebatas perbincangan hangat dalam kunjungan ke kantor-kantor kebanggaan mereka.
Namun, 2 minggu sebelum kegiatan ini resmi berjalan, saya harus tegas dan berani untuk menanggung segala resiko untuk membatalkan 'visual art exhibition' menjadi salah satu sub-kegiatan ini terselenggara. Sekalipun sudah ada banyak dari teman-teman yang sudah dengan semangat membara mengirim karya dan kobaran dukungan untuk dapat berpartisipasi dan terlibat di dalam kegiatan ini. Dari pembatalan tersebut, sudah bisa ditebak kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di periode berikutnya, sub-kegiatan ini akan tidak laku kedepan karena ketakutan penbatalan yang nantinya dimiliki oleh setiap visual artist yang akan diajak terlibat dikemudian hari.
Birokrasi instansi pemerintah dengan sebuah kegiatan yang di buat oleh orang kecil diluar pemerintah selalu memiliki brand image yang disepelekan. Apalagi, seni rupa di salatiga tidak memiliki dukungan dari orang-orang pemerintah yang seharusnya memiliki andil dalam kegiatan ini. Banyak kegiatan seni pertunjukan dan musik diadakan oleh lembaga yang memiliki tanggung jawab dalam kegiatan berkesenian. Mulai dari pameran aset kota, musik, karnaval, dan seni pertunjukan lainnya. Namun, bisa dirasakan bagaimana Lembaga terkait kesenian di Salatiga sama sekali tidak pernah menggagas Seni Rupa sebagai bagian penting dari mereka. Karnaval, pameran, dan pertunjukan lainnya diselenggarakan rutin. Sementara seni rupa harus diadakan dan berangkat dengan inisiasi dan semangat individu dan komunitas pelaku visual art itu sendiri.
Dengan alasan, bahwa Taman Tingkir adalah sebuah tempat yang memiliki predikat ramah Anak-Anak. Maka, instansi terkait menuntut saya untuk membuat isi pameran bertema anak-anak termasuk gambar yang nantinya akan dibuat oleh teman-teman harus senada dengan ini. Karena mengubah konsep awal, saya pun dengan tegas harus melawan ini sekalipun harus membatalkan dan mengecewakan beberapa pihak yang sudah berpartisipasi.
10 - 11 November 2018, kegiatan ini berjalan baik dengan sub-kegiatan workshop mural - street art jamming - music performing dan resmi menghilangkan visual art exhibition.
Bermodal ijin Ketua RW dan Ketua RT dan terima kasih kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata atas support yang diberikan. Tentunya sebagai movement menyadarkan sesepuh dan lembaga pemerintah terkait di Salatiga atas Seni Rupa yang tidak mereka gagas selama ini.
Dengan tidak memiliki ijin resmi diatas kertas, kegiatan ini berjalan ilegal tanpa diketahui oleh orang-orang yang saya libatkan, baik sebagai support sistem ataupun sponsornya.
Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak sebagai instansi terkait lingkungan tersebut juga tidak memberikan ijin secara formal. Sekalipun melalui perbincangan hangat beberapa bulan sebelumnya yang kata mereka akan membuatkan ijin dalam bentuk hitam putih yang saya tunggu hingga kegiatan itu tiba tidak datang juga. Sementara, kegiatan ini harus tetap berjalan dengan semangat yang membara.
Ijin keamanan yang tidak saya kantongi sama sekali akhirnya berdampak pada Kepolisian dan Intel daerah yang menjemput saya tepat didepan panggung saat closing ceremony. Sementara mendekati tahun Politik 2019, orang BAWASLU juga menyempatkan hadir bersama kepolisian untuk mengawasi kegiatan ini. Sayapun rela dan mempersilahkan kepolisian dan bawaslu untuk mendokumentasikan kegiatan ini dan wajah saya ada di galeri Smartphone mereka.
Sedikit takut tetapi yang lebih penting adalah menganggapnya sebagai sebuah perhatian dan bentuk apresiasi mereka kepada Salatiga Street Art Fest. Terima kasih.
Jelas saya salah.
Namun, yang lebih realistis adalah kegiatan ini tidak memiliki banyak modal untuk memenuhi segala kebutuhan diluar kebutuhan yang lebih primer.
Contoh : nyepak i mangan mbe rokok yang njaga. Simpel.
Sekalipun salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah ijin kepolisian harus ada untuk kegiatan apapun yang memiliki kepentingan mengajak dan mengundang banyak orang untuk berkumpul dan berkegiatan, apalagi ruang publik. Setelah perbincangan hangat kami malam itu, saya diminta bertanggung jawab untuk datang ke kantor kepolisian daerah setelah kegiatan ini selesai demi kebaikan kegiatan ini.
Setelah kegiatan ini berjalan. Tentunya masih ada pro kontra yang kemudian muncul kembali. Dua hari setelah kegiatan, ada beberapa gambar yang mendapat kritikan atas bentuk dan wujud visual yang sudah terbuat yang disampaikan oleh Ketua RW kepada saya. Sekalipun namanya dirahasiakan, sepertinya kita bisa menebak siapa orang dibalik ini. 3 gambar orang merokok, tulisan kelon, dan visual karakter yang di klaim pengkritik adalah salib yang disamarkanyang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan SARA dimintanya untuk dihapus demi kepentingan dan kebaikan taman.
Setelah itu, maka ada satu gambar yang rela di hapus dan 2 gambar yang saya biarkan terpampang. Sebagai bentuk menghormati dan menyadarkan pengkritik untuk membudayakan kebiasaan mengkaji dan menganalisis dahulu dan tidak serta merta sebatas melihat saja.
Saya pun merespon salah satu gambar teman saya dengan bentuk visual 'orang merokok' dengan menambah tulisan dibawahnya berupa pelarangan merokok di wilayah yang katanya ramah anak dan mengganti pictogram dilarang parkir menjadi dilarang merokok. Dan merespon visual yang dibilang bentuk salib dengan tulisan dibawahnya yang saya ambil dari tokoh visual artist dan musisi di Yogyakarta 'Farid Stevy' yaitu 'Turut Berduka Cita Atas Tak Berartinya Bunga Berganti Umpat Benci, Caci Maki, Bunuh, dan Lukai' sebuah idiom yang saya harap berhasil melawan pengkritik tersebut dengan harapan tidak lagi melihat lalu mengklaim tanpa harus mengkaji dan menganalisis dan mendiskusikannya terlebih dahulu.
Sebuah perlawanan saya mewakili teman-teman yang terlibat dalam kegiatan ini. Tidak ada unsur memancing konflik diruang tersebut, melainkan sebuah bentuk penghormatan saya atas kritik beliau.
Saya menjadi teringat oleh Soesilo Ananta Toer , seorang tokoh literasi di Indonesia yang juga merupakan adik dari Pramoedya Ananta Toer.
'Kebanyakan Budaya Orang Indonesia itu Mendengar, bukan Membaca'
BENAR dan MASIH HIDUP di Pilpres 2019. Menutup tulisan ini, merdekalah HOAX dan kabar kebohongan dan kebencian yang disebar dan di beritakan oleh orang-orang dengan kepentingannya masing-masing. fak yu #2019gantipresiden #Jokowi2periode
Comments