#2019 Merayakan Perbedaan
‘POLITIK POST MODERNISM’
Sebuah
pencapaian luar biasa untuk mengakhiri tahun 2018 dan menyambut tahun 2019
dengan keberhasilan lolos seleksi TIMSES kemenangan Presiden Jokowi
sekaligus menjadi TIMSES Calon Presiden
Prabowo minggu ini. Sebuah tugas berat untuk menjadi imbang atas tugas
kampanye yang akan saya lakukan dan propagandakan dengan baik dan
sesukses-suksesnya.
Sebuah ‘paragraf’
fiksi yang saya tulis secara ringkas untuk merepresentasikan bagaimana tagar
#2014 MERAYAKAN PERBEDAAN ini saya tulis lebih dalam lagi.
Membicarakan
2019, tentunya tidak akan terlepas jauh dari perayaan politik yang pada bulan
April 2019 akan diselenggarakan di Negara ini. Tanpa mengurangi rasa hormat
kepada siapa saja yang menjadi TIMSES pihak-pihak calon-calon pejabat dan
pewakil rayat yang nantinya bertengger di pucuk kekuasaan atas nama rakyat.
Semenjak
kemajuan IPTEK pada ranah sosial media, kampanye-kampanye politik di Indonesia
dilakukan dengan sangat liar, tidak terkontrol, dan tidak terbendung. Pada konteks ini, saya
menyebutnya ‘Politik Post Modernism’. Maka, siapapun tidak bisa menghalangi dan
menutup tugas setiap TIMSES yang menggunakan metode kampanye ini untuk
dijadikan media kerjanya sebagai seorang TIMSES partai politik karena siapa saja
berhak untuk memilih, menentukan pekerjaannya dengan pertimbangan halal dan
tidak melampaui batas-batas kewajaran dan tidak merugikan atau mengganggu masyarakat
umum.
Namun, yang
sangat disayangkan adalah bagaimana TIMSES, individu, masyarakat, ataupun
kelompok yang memiliki fanatisme pada idola calon politik yang digemari menjadi
liar dan brutal untuk menghalalkan segala cara dan strateginya memasarkan
idolanya tersebut untuk sukses menjadi pilihan masyarakat di 2019 nantinya. Adapun
beragam cara yang dihalalkan tersebut, mulai dari menyebarkan kabar melalui
sosial media tanpa menawar dan mencerna sumber tulisan, membuat konten
hoaks, menebar keburukan calon lain yang bukan penggemarnya, dan yang paling
brutal mereka menyerang agama yang dianut oleh musuhnya. Maka, ‘Politik Post
Modernism’ menjadi sangat kental pada konten-konten adu domba, kebencian,
kebohongan, hingga memasuki ranah yang private termasuk agama.
Didukung oleh
Alogaritma Sosial Media dan Search Engine Optimization (SEO) yang mempengaruhi
tingkat keterlihatan (visibilitas) pada hasil pencarian. Maka, teknologi saat
ini menjadi media paling ampuh untuk menyerang dan menebar kebencian hari ini
dengan melihat masyarakat indonesia yang mayoritas sudah menggunakan ponsel
pintar. Kitapun tidak memiliki hak untuk menutup kemajuan teknologi ini menjadi
bagian tidak penting di Negara ini. Maka, siapa saja berhak dan wajib memiliki
filter atas apa yang kita lihat dan tersebar di laman-laman dan beranda-beranda
sosial media dan website hari ini. Teknologi akan semakin tumbuh dan
berkembang seiring kecerdasan manusia yang semakin cerdas dikemudian hari.
Dengan kondisi saat ini, maka siapa saja hanya bisa merenungi terhadap kampanye politik yang dilakukan pada era 2000-an sebelum teknologi semakin berkembang dan maju saat ini. Bagi yang merasakan dan melihatnya, politik saat itu mungkin jauh lebih damai, tenang, terlihat dan nyata ketimbang ‘Politik Post Modernisme’ yang jauh lebih fana ini. Pawai politik, arak-arakan politik yang diiringi dengan saling menghias tubuh dan properti yang dimilikinya jauh lebih kreatif dan baik ketimbang merayakan politik dengan menebar kebencian, doktrin, dan adu domba hari ini. Pada konteks tersebut saya menyebutnya ‘Politik Klasik’, siapapun tidak berani menebar kebencian, berbohong dan mengadu domba sasaranya karena hampir keseluruhan strateginya dilakukan dengan langsung.
Comments