Haruskah seradikal itu untuk menghancurkan mimpi anakmu?

Mengejutkan, ketika sebuah anak menjadi korban fanatik dan radikalis agama oleh sang Ayah. Sah-sah saja ketika fanatic itu memberikan efek anak menjadi sesuatu yang menjadi positif untuk saat ini dan dalam jangka kedepannya. Namun, apakah tetap akan menjadi baik ketika fanatic itu malah menghancurkan mimpi dan cita-cita sang Anak?

--------------------

Malam ini hadir sebuah cerita ketika seorang mahasiswi mundur dari sebuah jurusan perkuliahan yang menjadi cita-citanya kala itu. Namun, seketika mimpi dan cita-citanya hancur oleh ketidakkuatan mental sang anak oleh doktrin-doktrin radikal sang Ayah dan Ibunya.
Anak itu berada di jurusan Pendidikan Seni Rupa. Jurusan yang menjadi korban dari suatu pembelajaran dangkal tentang Seni Rupa di Masa Kecil saya. Jurusan yang menjadi korban dari pandangan sebelah mata Orang-orang Dangkal.


Ayah dan Ibu dari anak tersebut tidak pernah menyukai anaknya menggambar .Satu hal yang menjadi dedikasi dan perjuangan sang Anak, Anak tersebut tetap nekat masuk dalam jurusan tersebut karena sebuah kesenangan, hoby, mimpi, dan cita-citanya menjadi pendidik Seni Rupa. Namun, Sayang.. hoby yang menjadi cita-citanya  tersebut seketika hancur karena beberapa alasan.
                                                                                        
Ayah dari anak tersebut tidak menyukai Menggambar karena beberapa Hal. Satu diantaranya karena Menggambar adalah sesuatu yang dosa dan tidak islami. Mendengar ceritanya yang mengatakan Berkarya Seni adalah sesuatu yang salah bagi Agama tersebut, cukup miris. Akhirnya dalam perjalanan Anak itu Menggambar, selalu ada doktrin di setiap waktu.Entah di banding-bandingkan dengan yang lain, Entah gambar yang dibuatnya disobek, entah Anak tersebut dimarahi karena Menggambar dan lain lain. Saya pikir Doktrin itu menjadi faktor paling fatal yang akhirnya menghancurkan mimpi sang anak kedepan. Dalam beberapa hadis dan ayat suci Al Quran, yang menjadi Salah besar atau dosa manusia ketika membuat kerya seni rupa berbentuk lukisan maupun patung ketika karya tersebut di Sembahnya.  Lantas, kenapa harus dosa, kenapa harus tidak islami kalau Berkarya Seni adalah bagian dari Diri kita untuk bersyukur terhadap Sang Kuasa untuk kemampuan kemampuan yang Dia Berikan kekita? Padahal karunia tersebut tidak semua orang memiliki.

Malam ini akhirnya Anak tersebut berpamit mengundurkan dari jurusan Seni Rupa. 

Ayah dan Ibu anak tersebut aku pikir terlalu fanatic dengan Agamanya. Apapun itu yang delakukan dan dikerjakan sang anak, orang tua tersebut selalu menyelami-nya dengan  Agama.Akhirnya  Anak tersebut melanjutkan sekolah di sebuah pondok di Jogjakarta untuk menuruti keinginan Ayah dan Ibunya untuk menjadi sesuatu yang baik kedepanya. Namun, apakah sesuatu yang baik bermula dari sesuatu yang terpaksa? Terus… apakah baik meninggalkan sesuatu yang di cita-citakan oleh diri kita sendiri  itu harus kita tinggalkan demi mengedepankan keinginan Orang tua? Disatu sisi Menuruti apa yang diinginkan Ayah dan Ibu adalah sesuatu yang benar dan wajib, di lain sisi hal tersebut menjadi salah ketika pada akhirnya menghancurkan mimpi dan cita cita sang Anak.

Apa menjalani  hidup harus seradikal itu? Disatu sisi Agama adalah panutan kita dalam menjalani kehidupan ini. Disatu sisi agama bukan sesuatu yang  harus kita selami  terlalu dalam dan akhirnya pikiran dan ilmu dangkal mengadu domba pikiran kita untuk mengadili sesuatu yang sebenarnya benar dan menggantinya dengan sesuatu yag salah. Ya, Agama Bukan Tuhan.

Sedih, itu yang terambil dari dalam hati saya. Saya sendiri pernah merasakan dimana mengambil jurusan ini dianggap oleh orang orang sekitar sesuatu yang salah, salah besar. ‘mau jadi apa kamu?’ pertanyaan paling memuakkan yang saat itu selalu saya dengar. Bagi saya hidup nggak cuman melulu soal ekonomi, hukum, TI, Politik, dan segalanya. Apa bedanya dengan orang-orang ekonomi yang merasa keren karena jurusan favorit? Padahal passion mereka bukan disitu, ketika SMA kerjaan mereka tentang Ekonomi cuman nyontek temen, hasilnya waktu kuliah mereka kembali ke jaman SMA, tiap ada tugas nyontek. Ya benar,  sesuatu yang belum mereka sadari ‘’kuliah bukan tentang bersekolah dimasa SD, SMP, dan SMA’’. tiap kuliah ngitung duit, tapi sayang banget uang yang mereka hitung cuman ‘dunia maya’, sedangkan ketika lulus mereka malah nggak pernah ngitung duit karena nganggur. 


Cerita diatas menjadi bagian tentang suatu hal yang mendoktrin saya tentang sebuah Deskripsi Seni Rupa. Apakah itu Menyakitkan? Apakah harus putus asa? Bagi saya tidak ada sebuah keputusasaan selagi kita bisa membuktikan ke mereka. Berjuang nggak harus dijalan yang sama.

Sekian Terima Kasih..



Comments