Dialog Aku dan Anjing (dalam ilusi)


Memaknai arti Binatang, sesuatu yang menjadi problematika dari beberapa sudut. Terkadang binatang menjadi symbol dari refleksasi manusia. Terkadang pula, binatang menjadi masalah di satu pihak.

Ya,  simbolisasi binatang tersebut sering muncul terhadap apa yang sering aku lakukan sendiri, juga terhadap orang-orang di sekitarku. 

Binatang-binatang Tuhan di bawah rata-rata manusia, mereka tidak akan pernah bisa mengungkapkan apa yang mereka rasakan.

Namun, apakah mungkin mereka bisa merasakan apa yang kita lakukan terhadap mereka? Jelas, binatang bisa merasakan sakit, beberapa study seperti penyembelihan hewan Qurban bagi agama islam, Binatang-Binatang bisa merasakan sakit, dengan gerakan menolaknya dengan menggecat kaki-kaki mereka ketika penyembelih ingin menyembelih lehernya, terkadang juga binatang-binatang tersebut mengeluarkan air mata sebelum disembelih. Ya, benar sekali, mereka bisa merasakan sedih ketika terancam. Sama seperti kita ketika merasakan sebuah ancaman. Namun, Kegelisahan binatang dengan manusia tetap berbeda. mereka cuman bisa meraung sedangkan untuk berbicara mereka terbatas.

Bagi saya sebuah sudut refleksasi paling salah ketika beberpa hewan menjadi symbol negatif oleh manusia. Ada beberapa binatang yang menjadi symbol-symbol tersebut, diantaranya anjing (asu), babi (celeng), dan tupai atau dalam bahasa jawanya (bajing). Apakah mereka pantas selayaknya kita symbolkan terhadap sebuah kenegatifan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sesuatu yang mungkin akan menjadi pertikaian diantara kita, mereka bisa menggonggong tetapi di satu sisi mereka tidak bisa berbicara. Lantas bagaimana kita bisa mengadili semua itu?

‘Dialog aku Dan Anjing’ (Dalam Ilusi)

Aku cuman binatang.
Aku cuman binatang minoritas, tidak semua orang memilikiku.
Aku cuman bisa menggonggong.
Namun, apakah kamu pernah sadar kalau aku juga punya hati?
Aku juga punya perasaan, aku bisa merasakan, kita sama.
Aku bisa menggonggong, Tapi terbatas.
Aku terbatas dengan pembicaraan.
Aku ciptaan Tuhan, Kita Sama.
Lantas kenapa kamu membenciku?
Lantas Kenapa kamu menyimbolkanku dengan semua kenegatifan itu.

Di satu sudut, ada sebuah Aturan  Mengharamkanku.
Air liurku najis.
Kalaupun basah, kulitkupun juga najis.
Yang najis tubuhku, sedangkan aku, ‘Roh’ (anjing)? Aku tak najis…..
Rohku suci.
Sama ketika kamu lahir dengan suci.
Yang seiring berjalanya waktu Kamu berkembang, yang disatu sisi perlahan waktu menajisi tubuhmu.
Aku binatang, kalaupun aku menjadi pantanganmu.
Aku cuman diutus Tuhan.
Aku bukan Symbol Kebencian.
Aku Bukan Symbol Kemarahan.


Apa yang bisa kita ambil dari dialog diatas? sebuah peradaban yang mungkin sebaiknya harus aku sendiri atau kita hilangkan walaupun sudah berpuluh tahun mungkin menjadi sebuah kebudayaan menyimbolkan hewan-hewan tertentu untuk menjadi symbol kemarahan kita. Sebuah hal yang harus kita sadari merupakan sebuah hal yang  fatal, makhluk-makhluk yang bukan seharusnya kita diskriminasikan kedalam sebuah kenegatifan, seuatu hal yang harus kita seragamkan kedalam sebuah nama bernama Makhluk Tuhan. 

Comments